SEMARANG, obyektif.tv – Festival Cheng Ho 2025 kembali menghadirkan rangkaian kegiatan yang memperkaya pemahaman masyarakat terhadap warisan budaya peranakan di Kota Semarang. Salah satunya melalui Diskusi Budaya Peranakan bertema “Festival Cheng Ho: Warisan Budaya Peranakan dalam Tradisi Multikultural di Semarang” yang digelar di Gedung Oudetrap, Kota Lama Semarang, Jumat (8/8/2025).
Acara ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Yvonne Sibuea (Peneliti EIN Institute), Johanes Christiono (Penulis/Wartawan Senior), dan Jose Amadeus (Pelaku Budaya), dengan moderator Farzan Surya Prabawangsa. Diskusi membahas peran warisan budaya peranakan Tionghoa, khususnya yang berkaitan dengan sejarah dan tradisi Laksamana Cheng Ho, dalam membentuk identitas multikultural Semarang.
Penulis sekaligus wartawan senior, Johanes Christiono, menekankan bahwa keakuratan sejarah kebudayaan peranakan tidak dapat bergantung pada satu sumber saja. Menurutnya, pendalaman dari berbagai sumber sangat penting agar data yang dihimpun dapat mendekati kebenaran.
“Sejarah tidak bisa hanya bersandar pada satu sumber. Harus ada studi mendalam dan materi yang valid sehingga informasi yang disampaikan bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Johanes menjelaskan, warisan akulturasi seperti yang tercermin dalam kisah Laksamana Cheng Ho memiliki banyak cerita dan peninggalan budaya yang menarik serta layak dilestarikan. Jika tidak diperhatikan, warisan tersebut dikhawatirkan akan tergerus oleh modernisasi. Ia mencontohkan, prosesi arak-arakan Cheng Ho di Semarang memiliki keunikan tersendiri, meski kisah pendaratan Cheng Ho juga ditemukan di daerah lain seperti Tuban dan Sumatera. Keberadaan peninggalan Kiai Jangkar menjadi bukti nyata keragaman budaya di Semarang.
“Kalau dari apa yg kita dengar tadi, arak-arakan Cheng Ho pun hanya ada di semarang. Padahal ceritanya kan di Tuban juga ada, di Sumatera ada. Ada yang cerita tentang pendaratan, tapi tradisi yang sangat kuat ada di Semarang apalagi peninggalan-peninggalan Kiai Jangkar,” jelasnya.
Menurutnya, Festival Cheng Ho mampu membangun kesadaran sejarah dan identitas budaya. Ia menilai perlu ada narasi pembuka yang menjelaskan siapa Cheng Ho, siapa tokoh yang diarak di tandu, dan alasan rute arak-arakan dimulai dari Tay Kak Sie menuju Sam Poo Kong lalu kembali lagi.
“Prosesi itu mempertemukan replika di Tay Kak Sie dengan patung asli di Sam Poo Kong, sebelum kembali ke titik awal. Jadi yang di Tay Kak Sie itu replika, yang asli ada di Sam Poo Kong” pungkasnya.
Festival Cheng Ho di Semarang merupakan tradisi multikultural yang memadukan budaya Tionghoa dan lokal, dengan ciri khas kuda Sam Poo yang tidak ditemukan di daerah lain.
Peneliti EIN Institute, Yvonne Sibuea, memaparkan sejarah terbentuknya budaya akulturasi ini. Sejak abad ke-19, prosesi arak-arakan Cheng Ho telah diwarnai tarian naga, barongsai, dan kesenian lokal. Tradisi ini digelar dalam dua versi, yaitu Sam Poo besar untuk menghormati Laksamana Cheng Ho dan Sam Poo kecil untuk Poo Seng Tay Tee atau Dewa Obat. Meski pernah diwarnai konflik, prosesi tersebut tetap bertahan sebagai simbol akulturasi dan kebersamaan warga, sekaligus mencerminkan identitas Semarang sebagai kota pelabuhan yang terbuka dan kreatif.

Pelaku budaya Semarang, Jose Amadeus, turut membagikan riwayat Cheng Ho dari masa Dinasti Ming hingga peninggalannya di Semarang. Ia menyoroti pentingnya penulisan sejarah dan kebudayaan Tionghoa secara lengkap. Menurutnya, rangkaian catatan yang diwariskan secara turun-temurun berisiko hilang jika tidak diarsipkan dengan baik. Karena itu, ia menggagas proyek bersama untuk membuat dokumentasi tertulis tentang budaya akulturasi agar tetap terjaga.
Diskusi tersebut menegaskan bahwa keberagaman kebudayaan layak dirayakan dan dimaknai bersama. Festival Cheng Ho pun menjadi wujud perayaan lintas komunitas, khususnya saudara-saudara Tionghoa, sebagai bagian dari identitas budaya Kota Semarang. ***