SEMARANG, obyektif.tv – Jateng Creative Festival/Forum (JCF) 2025 yang digelar 23–24 Agustus di Kota Semarang menjadi momentum penting bagi perjalanan ekonomi kreatif Jawa Tengah. Acara yang diselenggarakan Komite Ekonomi Kreatif (KomEkraf) Jateng ini mempertemukan 35 lembaga ekraf dari kabupaten/kota se-Jawa Tengah, dengan agenda diskusi panel, creative forum, creative market, networking session, hingga live performance.
Deputi Bidang Pengembangan Strategis Ekonomi Kreatif Kemenparekraf RI, Cecep Rukendi, menegaskan bahwa Jawa Tengah kini menempati posisi strategis sebagai salah satu provinsi kreatif unggulan di Indonesia. Menurutnya, keberadaan 14 kabupaten/kota kreatif dan 28 lembaga KomEkraf aktif menjadikan Jateng sebagai provinsi dengan ekosistem kelembagaan ekraf paling lengkap di Tanah Air.
“Jateng sudah memiliki regulasi, jejaring komunitas, dan kelembagaan yang kuat. Ini menjadi fondasi penting untuk menjadikan ekonomi kreatif sebagai arus utama pembangunan daerah,” ujarnya.
Dukungan juga datang dari ranah politik dan legislatif. Anggota Komisi VII DPR RI, Samuel Wattimena, menilai forum semacam ini harus mampu melahirkan terobosan konkret, bukan sekadar seremoni. Sementara Ketua Komisi B DPRD Jateng, Sri Hartini, menegaskan pihaknya berkomitmen mendorong perda sebagai instrumen pengembangan ekraf di daerah.
Ketua KomEkraf Jateng, Akhmad Khaerudin, bersama Wakil Ketua Bambang Supradono, mendorong agar program Kecamatan Berdaya untuk Menggerakkan Ekonomi Kreatif masuk dalam prioritas gubernur. Program ini diharapkan dapat menggerakkan potensi kreatif hingga ke tingkat akar rumput serta membuka lapangan kerja baru bagi generasi muda, santri, difabel, dan perempuan.
Meski demikian, pelaksanaan JCF 2025 tidak lepas dari catatan kritis. Dalam diskusi panel bertema Strategi Collaborative Governance untuk Pengembangan Ekosistem Kreatif di Jawa Tengah, sejumlah pembicara menyoroti keterbatasan format dan dukungan nyata.

Samuel Wattimena, yang juga hadir sebagai pembicara, menyampaikan kekecewaannya terhadap format diskusi yang terlalu singkat dan cenderung formal. Menurutnya, waktu yang terbatas membuat forum ini hanya menyentuh hal-hal permukaan, tanpa cukup ruang untuk interaksi mendalam. Ia menilai seharusnya diskusi dilakukan dalam format yang lebih partisipatif, seperti circle discussion, agar para pelaku ekraf bisa menyuarakan aspirasi secara langsung.
“Menurut saya waktunya terlalu singkat untuk berdialog. Harapan saya justru ada diskusi lebih intens, tanya jawab, bantah, lalu bersama-sama menemukan langkah aksi yang nyata. Kalau hanya berhenti di permukaan, saya khawatir setelah acara ini KEK belum bisa langsung bergerak,” ungkap Samuel.
Kritik serupa juga datang dari Ketua Komite Ekonomi Kreatif Kabupaten Semarang, Dimas Herdy Utomo. Ia menyoroti bahwa banyak event di tingkat provinsi masih bersifat seremonial, sehingga belum mampu menjawab kebutuhan mendasar, khususnya terkait penguatan kelembagaan dan kolaborasi lintas sektor. Dimas mencontohkan kondisi di Kabupaten Semarang, di mana sektor ekonomi kreatif masih berada di bawah sub-bidang destinasi wisata. Hal ini dinilainya belum sejalan dengan semangat provinsi yang sudah melakukan perubahan kelembagaan secara lebih serius.
Lebih lanjut, Dimas juga menyinggung soal keterbatasan dukungan anggaran dan keberpihakan yang dirasakan oleh pelaku ekraf di tingkat daerah. Padahal, menurutnya, Kabupaten Semarang sudah memiliki 28 komite ekonomi kreatif, regulasi daerah, hingga jejaring komunitas. Namun, tanpa dukungan nyata dalam bentuk pendanaan dan kebijakan afirmatif, sulit bagi kelembagaan ekraf untuk berkembang lebih jauh.

Perbedaan pandangan ini mencerminkan adanya jarak antara capaian kelembagaan yang ditampilkan di tingkat provinsi dengan realitas yang dihadapi pelaku ekraf di lapangan. Meski begitu, forum ini tetap dianggap penting sebagai titik temu antara pemangku kebijakan dan komunitas kreatif.
Tantangan ke depan, menurut para pelaku ekraf, adalah memastikan forum semacam JCF tidak berhenti pada wacana. Dukungan anggaran, regulasi turunan, serta pola kolaborasi lintas sektor perlu diperkuat agar ekonomi kreatif benar-benar menjadi motor penggerak pembangunan daerah.
Dengan capaian dan kritik yang muncul, JCF 2025 pada akhirnya memperlihatkan dua wajah ekonomi kreatif Jawa Tengah: potensi besar yang membanggakan, sekaligus pekerjaan rumah yang masih harus dituntaskan. ***